PROBOLINGGO ECOLOGICAL WATERFRONT PROJECT” dalam perspektif Integrated Coastal Zone Management (ICZM)


PROBOLINGGO, Rakyatnusantara.net - Pemerintah Kota Probolinggo telah menetapkan sebuah proyek strategis dengan visi penanganan dan pengembangan kawasan Mayangan (antara lain penanganan permukiman kumuh nelayan, pengembangan RTH dan fasum, pengembangan RT dan pengembangan kawasan wisata mangrove). Proyek strategis tersebut bertajuk “Probolinggo Ecological Waterfront Project”. Lokasi proyek ini berada disebelah utara jalan Ikan Tongkol, Kelurahan Mayangan (Gambar 1).

Konsep desain dari proyek ini meliputi penyediaan fasilitas Continuous Waterfront Public Pedestrian, kawasan taman tematik/iconic yang mengikuti corak kearifan lokal (antara lain Amphitheaters, Fog Area, Bamboo Park, Sports Park), Masjid Apung, observatory tower, Ruang Terbuka Hijau (RTH), Jembatan layang, kios kuliner, mangrove observatory, pengembangan kawasan hutan mangrove, fishing cabins, tempat pembuangan sampah sementara, dan Sewage Treatment Plant (STP). Secara umum, desain proyek ini telah sesuai dengan ketentuan umum peraturan zonasi sempadan pantai yang termaktub dalam Perda No 1 Kota Probolinggo Tahun 2020 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Probolinggo tahun 2020-2040 Pasal 74. Salah satu kegiatan penunjang proyek strategis tersebut terdokumentasi dalam Rencana Penyiapan Lahan (RPL) 2020 program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) yakni pengembalian semula RTH dan penataan kawasan permukiman kumuh di wilayah pesisir Mayangan.


Fasilitas infrastruktur yang direncanakan pada proyek ini cukup menarik untuk ditinjau konsep keterpaduannya dalam pandangan pengelolaan (manajemen) wilayah pantai atau banyak dikenal sebagai Integrated Coastal Zone Management (ICZM). Konsep ini sejalan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3-K) telah diamanatkan oleh UU no 1 tahun 2014 Pasal 1 yaitu bahwa PWP3-K adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sehingga, tinjauan ICZM perlu dilakukan dalam menyikapi pengembangan wilayah pesisir yang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal-hal yang esensial untuk masyarakat pesisir yakni misalnya tentang pemberdayaan masyarakan, tinjauan berbasis struktur, konservasi lingkungan, edukasi/pendidikan, dan lain-lain. Tinjauan Berbasis Struktur dan Teknologi Konsep yang diusung di proyek ini merupakan waterfront yang bila dilihat dari fungsinya, waterfront nya berfungsi mixed-used (mengkombinasikan fungsi rekreasi, usaha peningkatan kualitas lingkungan dan kultural).

Konsep waterfront yang sedemikian ini akan memberikan dampak positif kepada masyarakat Kota Probolinggo umumnya dan masyarakat wilayah pesisir khususnya. Namun demikian, perlu diingat bahwa banjir rob yang sering melanda wilayah pesisir Probolinggo yang sangat berkaitan dengan pasang surut. Perairan Probolinggo memiliki kenaikan amplitudo pasang surut mencapai 3m dengan tinggi muka air 1.6m dan berdampak pada arus yang selalu mengarah ke pesisir (ketika pasang dan surut) dan berakibat penyebaran sedimen tersuspensi relatif tinggi di sepanjang pesisir dan area Pelabuhan. Sedimentasi yang intensif menyebabkan kelandaian dan pembentukan lokasi-lokasi rataan pasang surut yang luas, hingga 3 km dari garis pantai. (Edi Kusmanto et al., 2016). Oleh karena itu, kajian tentang amplifikasi pasang surut dan perkiraan dampaknya terhadap perairan pesisir Probolinggo khususnya untuk desain proyek waterfront ini sangatlah penting untuk dilakukan. Hal ini agar fasilitas yang dibangun mempunyai estetika dan kehandalan yang baik.


Terutama dalam hal pemilihan lokasi yang tepat dan desain struktur dari Masjid Apung. Sehingga bisa saat pasang surut terjadi, Masjidnya tidak nampak terapung dan juga berpotensi menimbulkan bau. Perlu juga dipikirkan untuk manfaat dredging (pengerukan) untuk tujuan menjaga konsistensi elevasi permukaan air laut.


Tinjauan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Dari hasil studi kesesuaian pemanfaatan ruang pesisir dan laut berdasarkan RZWP-3-K dan RTRW wilayah pesisir kota Probolinggo (Novita Hariyanti, 2021), didapatkan hasil bahwa luas penggunaan lahan untuk kawasan pariwisata menduduki luas paling kecil (3.40 Ha) dari total luas lahan pesisir 1356.82Ha. Sehingga dengan proyek kawasan wisata baru ini, diharapkan dapat memberikan peluang kerja baru (bekerja mengelola kebersihan, pemeliharaan tempat wisata, tenaga penjaga kawasan wisata, pengelolaan sampah dan water treatment plant) dan tempat berbisnis (perdagangan, pemberdayaan UMKM) untuk masyarakat pesisir yang berkorelasi dengan peningkatan ekonomi.


Hal ini sejalan dengan Perda No.1 RTRW tahun 2020-2040, dimana wilayah pesisir Kecamatan Mayangan merupakan Kawasan Strategis Kota (KSK) Probolinggo untuk pertumbuhan ekonomi. Adanya Mangrove Observatory dan area pengembangan hutan Mangrove dalam konsep proyek tersebut yang ecological bisa dengan melibatkan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) setempat dengan model kemitraan dimana DKP Kota Probolinggo dapat mengambil peran sebagai koordinator. Sehingga hasilnya akan menyentuh prinsip partisipasi masyarakat dan prinsip ekonomi.


Tinjauan Berbasis Pelestarian Lingkungan/Konservasi Sumberdaya Alam Pengembangan kawasan Mangrove yang termasuk dalam konsep proyek ecological ini memiliki peranan penting. Karena menurut studi baru yang dituliskan oleh Morgan Erikson (2018) bahwa tanah dibawah hutan mangrove bisa menyimpan 6.4 miliar ton karbon pada tahun 2000. 


Mangrove mempunyai kelebihan seperti menyimpan karbon, mengurangi bahaya banjir dan erosi dari badai, memberikan perlindungan terhadap ikan-ikan dan memfilter polutan dari air. Namun antara tahun 2000 – 2015, sekitar sampai 122 juta karbon telah terlepas akibat penggundulan hutan mangrove (lebih kurang setara dengan emisi karbon dalam satu tahun di Brasil). 


Lebih dari 75% pelepasan emisi karbon tanah tersebut diakibatkan oleh penggundulan hutan mangrove di Indonesia, Malaysia dan Myanmar. Tanaman mangrove pula dapat menjadi mitigasi dari krisis perubahan iklim, karena mangrove memiliki peran sebagai penyimpan karbon lima kali lipat lebih banyak di negara tropis. Dengan melakukan konservasi hutan mangrove hal ini berarti telah ikut berusaha dalam perlindungan, pelestarian alam dalam bentuk penyisihan areal sebagai kawasan suaka alam (Vino Dzaky, 2020). Manfaat lainnya, melalui budidaya mangrove yang berkesinambungan fauna ekosistem akan terjaga dengan baik. 


Arihima (2017) menuliskan bahwa di wilayah mangrove kelurahan Mayangan dan Pilang didominasi oleh kepiting bertangan satu atau kepiting biola, kerang tiram dan ikan tembakul. Sedangkan fauna terestrial atau daratan yang menempati hutan mangrove yakni didominasi oleh burung kuntul putih dan salah satunya yakni kucing bakau. 


Sehingga fauna ekosistem tersebut akan terkonservasi dengan baik di wilayah pesisir Mayangan. Tinjauan Berbasis Edukasi/Pendidikan Konservasi kawasan hutan Mangrove dan RTH bisa dimanfaatkan untuk: Pengembangan ekowisata yang mengandung unsur pendidikan untuk mengubah perilaku atau sikap seseorang menjadi memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya. (Arihima Lazuardi, 2017)). 


 Menambah pengetahuan mengenai interaksi komponen biotik dan abiotik hutan mangrove secara langsung bagi ekowisatawan yang dating berkunjung ke lokasi. (Achmad Muhib et. al. 2017). Adapun fasilitas seperti Amphitheatre, Mangrove Observation, Taman tematik, dan Masjid Apung dapat juga dijadikan sarana edukasi untuk masyarakat pesisir khususnya. Misalnya untuk menambah pengetahuan tentang perikanan, budaya lokal, dan menjadi tempat pembelajaran untuk pengamantan hilal (bulan baru) dari Masjid Apung. Kesimpulan dan Saran Dapatlah kita  simpulkan bahwa proyek “Probolinggo Ecological Waterfront Project” akan memberikan dampak positif terhadap pemberdayaan masyarakat, peningkatan kesejahteraan, perbaikan lingkungan permukiman kawasan pesisir, penyesuaian penggunaan lahan pesisir Kota Probolinggo terhadap arahan RZWP3K dan pelestarian sumber daya alam.


Sehingga perencanaan yang matang dan terukur oleh Pemerintah Kota Probolinggo bersama stakeholdersnya dipandang perlu untuk mempercepat realisasi proyek ini.


Saran-saran yang patut dipertimbangkan dalam tahapan lebih lanjut dari proyek ini dan aspek-aspek lain untuk meningkatkan potensi strategis wilayah pesisir Kota Probolinggo adalah sebagai berikut: Pendekatan yang terukur terhadap masyarakat pesisir Mayangan dengan senantiasa melibatkan tokoh-tokoh masyarakat setempat dan ulama yang berpengaruh di Kota Probolinggo. Dalam hal tinjauan ICZM berbasis struktur, perlu juga dipertimbangkan penggunaan teknologi material/bahan yang reliable dan sustain terhadap lingkungan laut. Pada sektor pemberdayaan masyarakat, perlibatan masyarakat sekitar pesisir untuk diikutsertakan bekerja dan membuka usaha dalam jejaring UMKM yang dibina dengan baik oleh Pemerintah Kota. Menambahkan lahan untuk area pantai landai buatan berpasir putih.


Area ini bisa ditambahkan pada bagian sisi barat dari Zona 2A dari proyek ini dan perlu dilakukan perhitungan dengan seksama dari laju sedimentasi dan abrasi/erosi.


Pemerintah Kota Probolinggo perlu segera mendorong terciptanya Kota Probolinggo menjadi TOURISM HUB yang dapat berpusat di kawasan ecological water front. Tourism-Hub akan menjadi penghubung antara wisata bahari dan pegunungan yang terdapat di wilayah Kabupaten Probolinggo dan sekitarnya. 


Wisata bahari yang dimaksud adalah Pulau Gili Ketapang (Gili Iyang dan Gili Labak), sedangkan pegunungan adalah kawasan BTS (Bromo-Tengger-Semeru), Kawah Ijen di Banyuwangi.


Sebagaimana yang sudah dicantumkan dalam RPKD 2021 bahwa Kota Probolinggo ditetapkan sebagai bagian dari Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Bromo-Tengger-Semeru (KSPN BTS) yang harus memainkan peran penting dan lebih besar sebagai kawasan pendukung sekaligus pintu gerbang menuju KSPN BTS.


 Pemerintah juga dapat memanfaatkan momentum rencana pengembangan Pelabuhan Tanjung Tembaga yang dialokasikan budget mencapai 9 triliun rupiah di APBN dan KBPU yang diungkapkan oleh Gubernur Jawa Timur (Fatimatuz Zahro, Surya.co.id, 2020).


Mengartikulasi wilayah hutan mangrove yang memiliki alur antara hutan dan dapat dimanfaatkan untuk jalur wisata menggunakan perahu. Sehingga wisatawan dapat mengarungi wilayah pantai di Kawasan Pesisir Kota Probolinggo (jalur terhubung mulai dari Pantai Permata, Pantai BJBR, Pantai Tugu Laut) hingga ke wisata di Pulau Gili Ketapang, Kabupaten Probolinggo. Diantara jalur perjalanan, dibuat spot keramba terapung dan fasilitas restoran terapung. 


Paket wisata semacam ini terdapat di Pulau Langkawi, Malaysia. Menelaah tentang Carbon footprint claim berkaitan dengan perluasan kawasan konservasi hutan Mangrove sebagai potensi menambahkan pendapatan asli daerah (PAD). Menambahkan fasilitas infrastruktur bangunan Sentra Pasar Ikan Asap pada ecological waterfront.  Suplai ikan segar berasal dari hasil tangkapan nelayan pesisir setempat secara langsung. 


Pengelola penjualan dilakukan oleh UMKM binaan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan para nelayan bisa meningkatkan pendapatannya dengan penjualan yang berkelanjutan.



Penulis: Novan Arif Hidayat                Mahasiswa Pascasarjana S-2 Teknik Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya             
Email: 6020211006@mhs.its.ac.id

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama